AMBON, MM. – Warga Desa Bobo, Pulau Obi, Halmahera Selatan, melakukan penolakan keras kehadiran PT Intim Mining Sentosa (IMS) diwilayahnya. Mereka menolak mediasi maupun negosiasi, dan meminta pemerintah dan perusahan menghormati hak-hak masyarakat.
Perusahan tambang nikel yang telah mengantongi konsesi seluas 3.185 hektare di Desa Bobo ini, diketahui telah melakukan pertemuan secara diam-diam di sebuah hotel di Ternate, Maluku Utara, bersama pihak dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Inspektur Tambang Wilayah Maluku Utara, serta Kepala Desa Fluk dan Kepala Desa Bobo.
Pertemuan tersebut dilaksanakan tanpa sepengetahuan masyarakat Desa Bobo secara luas. Tidak ada konsultasi, musyawarah, atau pemberitahuan yang layak kepada warga.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, Julfikar Sangaji, Minggu, (27/4/2025) menegaskan, tindakan ini merupakan bentuk pengabaian terhadap prinsip partisipasi rakyat yang menjadi fondasi hak atas ruang hidup.
“Pertemuan tertutup seperti ini mencerminkan praktik sistematis negara-korporasi dalam menyembunyikan agenda mereka dari rakyat, yang pada akhirnya menjebak warga sebagai korban keputusan yang tidak mereka ketahui, setujui, apalagi kehendaki,”kata Julfikar.
Praktik ini telah menjadi pola umum dalam memuluskan jalan operasi ekstraktif di berbagai wilayah, dengan mengabaikan suara dan hak-hak masyarakat lokal.
Menurutnya, dalam pertemuan itu, PT IMS mengklaim akan melaksanakan praktik pertambangan yang “bertanggung jawab” dan “mematuhi seluruh regulasi.” Mereka juga mengklaim telah melengkapi seluruh dokumen perizinan, termasuk Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Menyikapi klaim tersebut, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bobo, Amrafel Nandis Kurama, Ketua Klasis Pulau-Pulau Obi, Pdt. Esrom Lakoruhut bersama dengan masyarakat Desa Bobo, didampingi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Simpul Maluku Utara, melalui siaran pers, Minggu (27/4/2025) menegaskan sikap resmi sebagai berikut:
- Menolak Segala Bentuk Pertambangan yang Merusak Sosial dan Ekologi
Pertambangan pada dasarnya adalah padat modal dan teknologi, serta rakus tanah dan air. Dalam pengalaman kami sehari-hari, di manapun tambang beroperasi, tidak pernah berlangsung tanpa perusakan. Operasi tambang selalu mengakibatkan degradasi ekosistem: perusakan hutan, pencemaran air, sungai, dan laut, hilangnya kebun rakyat, rusaknya ekosistem pesisir, hingga memburuknya kesehatan masyarakat. Klaim “pertambangan ramah lingkungan” hanyalah politik bahasa untuk mengelabui rakyat. Kenyataan yang terjadi adalah kebangkrutan sosial-ekologis yang menghancurkan pondasi kehidupan masyarakat lokal.
- Tambang Tidak Membawa Kesejahteraan Masyarakat
Pulau Obi dan Maluku Utara telah lama menjadi lokasi gempuran industri pertambangan. Namun, alih-alih membawa kesejahteraan, kehadiran tambang justru memperparah kemiskinan masyarakat lokal. Sumber penghidupan tradisional—seperti berkebun, menangkap ikan, dan memanfaatkan hasil hutan—telah rusak dan hilang. Laut sebagai ruang tangkap nelayan tercemar berat, membuat aktivitas melaut menjadi semakin jauh, biaya produksi membengkak, dan hasil tangkapan menurun drastis. Sementara itu, keuntungan hanya dinikmati oleh segelintir elit dan korporasi. Ketimpangan ekonomi akibat tambang memperdalam luka sosial dan ketidakadilan di tengah masyarakat.
- Persoalan Tambang Bukan Hanya Urusan Administratif
Kami menolak pendekatan yang mereduksi pertambangan sebagai sekadar persoalan dokumen perizinan administratif. Kehidupan, tanah, air, udara, dan masa depan generasi kami tidak dapat ditukar dengan selembar dokumen izin yang difasilitasi negara. Lengkapnya izin administrasi hanyalah formalitas prosedural, yang tidak menjamin perlindungan terhadap warga dan lingkungan. Penolakan kami berakar pada hak fundamental kami untuk hidup layak di lingkungan yang sehat, sebagaimana dijamin dalam Konstitusi Indonesia.
- Menuntut Hak atas Lingkungan Hidup yang Bersih dan Lestari
Kami menolak mewariskan kepada anak-anak dan cucu-cucu kami tanah yang telah rusak, air yang tercemar, laut yang hancur, dan udara yang beracun. Kami menuntut hak untuk hidup di ruang hidup yang lestari, berkelanjutan, dan bebas dari ancaman kehancuran ekologis akibat tambang. Menyelamatkan lingkungan hidup adalah menyelamatkan masa depan masyarakat adat dan generasi penerus.
- Belajar dari Luka Kawasi: Tidak Ada Jalan Lain Selain Menolak
Kawasi adalah bukti nyata dari kehancuran ekologis akibat tambang nikel: hutan dirusak, pesisir dan ruang tangkap nelayan tercemar, kebun-kebun rakyat dihancurkan, sumber mata air dirampas dan tercemar, warga mengidap berbagai penyakit baru, kekerasan serta kriminalisasi meningkat, bahkan warga dipaksa meninggalkan kampung halamannya sendiri. Tragedi ekologi dan sosial di Kawasi adalah peringatan keras bagi kami di Desa Bobo. Kami menolak menjadi korban berikutnya dari ekspansi pertambangan nikel.
“Dengan ini, kami menyatakan secara tegas dan bulat: kami menolak kehadiran PT Intim Mining Sentosa di Desa Bobo. Penolakan ini bersifat total, tanpa syarat, dan tidak dapat dinegosiasikan. Kami menyerukan kepada seluruh pihak, termasuk pemerintah pusat dan daerah, untuk menghormati hak-hak masyarakat Desa Bobo dan menghentikan seluruh upaya pemaksaan operasi pertambangan di wilayah kami,”pungkas mereka.(MM-2)