AMBON,MM. – Kei Besar adalah salah satu pulau di Kepulauan Kei, Maluku dengan luas 550 km (340 mil). Selain kaya potensi laut, Pulau yang dikenal dengan sebutan Nuhu Yuut atau Nusteen, juga memiliki pemandangan indah dengan hutan yang menghijau. Sayangnya, keindahan ini sudah tidak lagi bisa dinikmati.
Pulau tersebut kini terlihat gersang akibat ulah penambangan yang tidak terkendali. Aktivitas penambangan batu dilakukan oleh PT Batulicin Beton Asphalt (BBA), yang adalah anak perusahaan dari Jhonlin Group, milik Andi Syamsuddin Arsyad atau dikenal dengan sebutan Haji Isam. PT BBA didirikan untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur dan sarana penunjang unit-unit usaha yang bernaung di bawah Jhonlin Group.
Perusahaan ini bergerak di bidang pertambangan dan pengolahan batu kapur/gamping dengan luas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) seluas 90,82 ha, berlokasi di desa Nerong, Kecamatan Kei Besar Selatan dan Desa Mataholat, Kecamatan Kei Besar. Kehadiran perusahan kini mulai meresahkan warga di daerah .
Menariknya, penambangan yang telah beroperasi sejak September 2024 itu belum mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Padahal AMDAL pertambangan merupakan hal penting untuk kelangsungan lingkungan yang lebih baik, sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 4 dikatakan, “Setiap rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak terhadap Lingkungan Hidup wajib memiliki Amdal, UKL-UPL, atau SPPL.
Kerusakan alam dampak dari aktivitas pertambangan menarik perhatian public Maluku, yang kemudian mengkampanyekan di seluruh platform digital tagar “Savekeibesar”.
Berbagai aksi juga dilakukan, dengan tujuan mendesak PT BBA segera menghentikan aktifitas pertambangan.
Seperti yang dilakukan Himpunan Mahasiswa Evav di kantor DPRD Maluku, Senin (16/6/2025). Mengenakan ikat kepala merah, puluhan masa aksi datang mengusung foto Gubernur serta Anggota DPRD Maluku Dapil IV, Maluku Tenggara, Kepulauan Aru dan Tual.
Sejumlah pamflet yang dibawa bertuliskan “SaveKeiBesar” dan Tolak Tambang PT Batutua Licin. “Setelah tanah Papua dilukai, kini tanah kei pun dirobek.” Jaga Tanah Kei”. “Kalau ada dua keadilan pak Gubernur, Satu Par Katong orang Kei”. “Pulau Kei Sangat Kecil tak sebesar dan sekuat pulau lainnya”. “Masuk tanpa izin bukan pembangunan, itu perampasan”. “Lawamena Haulala Itu Par Sapa, tete Nene moyang ada tanya lewat Katong pung suara. Kei besar punya roh yang hidup di balik tanah hutan dan laut tolong pertanyakan itu”.
Ada beberapa point aspirasi yang disampaikan dalam orasi. Diantaranya, permasalahan pertambangan yang ada di pulau Kei Besar merupakan tanggung jawab bersama dan perlu mendapat atensi khusus oleh pemerintah kabupaten Maluku Tenggara, Pemerintah Provinsi Maluku dan Pemerintah Republik Indonesia.
Pertambangan yang dilakukan PT Batulicin juga berpotensi melanggar dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta merusak lingkungan dan mengancam kemaslahatan masyarakat adat Kei serta tatanan Adat budaya kei.
Diduga Ada Keterlibatan Militer
Dibalik aktifitas pertambangan yang telah berjalan selama 9 bulan, selain persoalan lingkungan, hal lain yang menarik perhatian pendemo adalah adanya keterlibatan militer dalam mengawal operasi tambang PT BBA.
Hal ini bertolak belakang dengan tugas pokok dari TNI, yang seharusnya menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi segenap bangsa Indonesia dari segala bentuk ancaman dan gangguan, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Keterlibatan militer ini terlihat dari adanya intimidasi, sehingga membuat masyarakat tidak berani berbicara, dan berdampak pada terjadinya pro dan kontra ditengah masyarakat akibat kehadiran perusahaan.
Dalam aksinya masa mendesak DPRD Maluku agar segera memanggil Pangdam XV Pattimura terkait keterlibatan personil militer dalam operasi tambang PT BBA di pulau Kei Besar.
Terdapat 6 tuntutan lainnya yang disampaikan masa aksi, satu, mendesak pemerintah provinsi Maluku dan DPRD Maluku untuk segera mengevaluasi seluruh izin pertambangan di Maluku.
Dua, mendesak Pemda Maluku agar segera menghentikan dan mencabut izin pertambangan PT Batulicin di Kepulauan Kei. Tiga, mendesak DPRD Maluku untuk menyampaikan sikap penolakan dan memanggil pihak PT BBC karena telah melakukan aktifitas pertambangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Empat, mendesak Pemprov Maluku dan DPRD Maluku agar mengakomodir kepentingan masyarakat adat da menghentikan operasi tambang PT BBA di pulau Kei Besar.
Lima, mendesak PT BBA agar bertanggung jawab akan kerusakan lingkungan atas aktifitas pertambangan, dan mendesak Gubernur dan Bupati Malra untuk memberikan transparansi informasi terkait operasi PT BBA yang telah menyalahi rencana tata ruang wilayah Kabupaten Malra.
Wakil Rakyat Satu Suara Tolak PT BBA
Berdasarkan hasil pertemuan dengan masa aksi yang berlangsung di ruang paripurna, DPRD Maluku sepakatsatu suara menolak kehadiran PT BBA.
Penolakan tersebut disampaikan beberapa perwakilan fraksi yang hadir dalam pertemuan dipimpin Ketua DPRD Maluku, Benhur Watubun. Diantaranya fraksi PDIP, NasDem, PKB, fraksi gabungan Hanura dan PPP, Golkar.
Ketua DPRD mengaku, sesuai peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 22 tahun 2021, secara gamblang, semua kegiatan yang berdampak penting dan tidak penting dalam pertambangan wajib memiliki AMDAL.
Atas dasar itu, dengan berbagai pertimbangan yang terjadi di masyarakat serta dampak yang dihasilkan dari pertambangan, dewan menolak hadirnya PT BBA.
“Jadi kalau PT BBA tidak taat dan melanggar UU silahkan angkat kaki. Kami tegas menolak operasi PT BBA, begitu juga fraksi PDIP,” tegas Benhur
Menurutnya, penolakan ini akan ditindak lanjuti dengan sikap resmi yang nantinya akan disampaikan setelah agenda rapat bersama Pemda Maluku, Pemkab Maluku Tenggara, PT BBA, termasuk Pangdam soal keterlibatan militer.
“Dua minggu depan kita akan undang untuk bahas persoalan ini dan mengambil sikap secara kelembagaan,”tandasnya.
Kompensasi Belum Terealisasi
Penolakan operasi PT BBA juga disampaikan Irawadi, Ketua Komisi II yang berkaitan dengan pertambangan.
Ia mengakui, walaupun aktifitas pertambangan dengan pengiriman hasil tambang ke Merauke untuk pembangunan proyek strategis di Merauke, Papua, nyatanya PT BBA belum memiliki IUP maupun AMDAL. Hal ini dibuktikan dari hasil koordinasi dengan OPD teknis, begitu juga hasil pengawasan ke lokasi pertambangan.
“Yang jadi pertanyaan yang memberikan akses tambang ini siapa?. Tuntutan kami saat pertemuan dengan pimpinan PT BBA, segera buat izin, dalam waktu satu Minggu kami sudah dapat. Namun sampai saat ini belum juga ada,”ucapnya.
Berdasarkan keterangan dari masyarakat Ohoi (Desa) Mataholat, sebelum hadirnya PT BBA, telah dilakukan sosialisasi bersama Penjabat Bupati, dengan menjanjikan kompensasi, yang tidak terealisasi sampai saat ini. Mulai dari ganti rugi lahan yang disepakati Rp12.000 per meter, hanya direalisasi Rp8.000 per meter, sedangkan tanaman Rp2.000.
Kemudian kompensasi untuk pembangunan pagar Masjid serta pemecah ombak 100-150 dari bibir pantai juga belum terealisasi. Begitu juga dengan PAD yang didapat daerah, belum ada kejelasan pasti.
Sebagai tindak lanjut, Irawadi memastikan Komisi akan mengawal dengan melakukan pertemuan bersama Dinas ESDM, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Investasi dan PT BBA, sebelum mengambil sikap resmi.
“Kita akan mengawal dan mendukung gerakan ini. Sebagai ketua Komisi II sekaligus ketua fraksi NasDem menolak operasi PT BBA,”pungkasnya.(MM-9)