Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
AmboinaHeadline

Sidang Lanjutan Mata Rumah Parentah Simauw, Saksi Ahli Tegaskan Hanya Satu Mata Rumah Parentah Di Negeri Passo

760
×

Sidang Lanjutan Mata Rumah Parentah Simauw, Saksi Ahli Tegaskan Hanya Satu Mata Rumah Parentah Di Negeri Passo

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

AMBON,MM. – Sidang lanjutan perkara perdata Nomor 279/Pdt.G/2024/PN Ambon kembali digelar di PN Ambon, Selasa, 3/6/2025 yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Wilson Shiver Manuhua didampingi hakim anggota : Dedy Sahusilawane dan Ulfa Riri dengan agenda mendengarkan pendapat saksi ahli, Prof. Dr. Salmon Eliazer Marthen Nirahua, SH, M.Hum, seorang guru besar di Fakultas Hukum Universitas Pattimura (FH UNPatti).

Fakta di persidangan membuktikan ahli dalam memberikan keterangan saat menjawab pertanyaan kuasa hukum penggugat mengatakan sesuai dengan hukum adat di pulau Ambon menyebutkan tidak boleh ada 2 mata rumah parentah di sebuah negeri adat di pulau Ambon karena yang ada sesungguhnya adalah hanya satu mata rumah parentah karena hal ini sudah diatur di bawah sumpah adat yang bunyinya “SEI LESI SOU, SOU LESI EI (SAPA LANGGAR SUMPAH SUMPAH BUNUH DIA) DAN SEI HALE HATU, HATU LISA PEI, (SAPA BALE BATU, BATU BALE GEPE DIA).

Awalnya, dalam menjawab pertanyaan kuasa hukum penggugat, Joemycho R.E. Syaranamual tentang bagaimana hak Parentah di negeri Kota Ambon, ahli berpendapat berdasarkan Peraturan Desa nomor 4 tahun 2014 yang telah mengalami perubahan pada tahun 2024 maka desa-desa adat di pulau Ambon dinamakan negeri karena sesuai sejarah negeri itu sudah ada jauh sebelum Indonesia Merdeka bahkan sudah ada sejak sebelum ada penjajahan di Indonesia.

Oleh sebab itu ahli berpendapat berdasarkan sumpah adat pada pada setiap desa adat atau negeri di Kota Ambon telah ditetapkan mana rumah mana yang berhak sebagai mata rumah parentah, mata rumah mana yang berhak sebagai kapitan dan mata rumah mana yang menjadi Hena Upu. Oleh karena itu pendapat ahli bahwa berdasarkan sejarah itu maka setiap mata rumah dengan kedudukan yang telah ditetapkan tidak bisa mengambil hak dari mata rumah yang lain yang telah diatur dalam sumpah tadi.

Ahli kemudian memberikan contoh jika pelantikan seorang raja yang berasal dari mata rumah parentah sebagai kepala pemerintahan maka harus lebih dulu dilantik secara adat oleh Hena Upu. Ahli juga berpendapat yang namanya hal adat juga dilindungi oleh negara.

Selanjutnya fakta persidangan juga mengungkapkan bahwa pendapat ahli mengatakan jika yang berhak diangkat menjadi raja dalam mata rumah parentah adalah Ketua mata rumah parentah karena ia telah dipercayakan oleh anak-anak mata rumah parentah secara internal untuk mewakili mata rumah parentah untuk menjadi raja yang ditandai dengan musyawarah di dalam internal mata rumah atau pun jika tidak dalam bentuk musyawarah maka juga dengan cara menandatangani persetujuan memilih yang bersangkutan sebagai raja.

 

Meskipun demikian ahli menolak pendapat bahwa musyawarah itu haruslah dilakukan dalam jumlah yang memenuhi qorum atau 50 persen tambah 1 mengingat keputusan untuk menentukan secara internal siapa yang bakal jadi raja adalah harus qorum itu bukan kebiasaan adat yang terpenting adalah yang bersangkutan adalah kepala mata rumah parentah yang telah terpilih atau ditunjuk secara internal anak-anak mata rumah parentah.

 

Pendapat ahli juga menyebutkan yang berhak menjadi kepala mata rumah parentah dan menjadi raja adalah keturunan garis lurus yang memiliki bukti sejarah dari orangtua atau leluhurnya, sementara yang hanya memiliki mandat untuk menjadi raja akibat adanya kekosongan tidak memiliki hak. Bahkan pendapat ahli menyebutkan jika terjadi kekosongan karena keturunan mata rumah lenyap maka hak sebagai mata rumah parentah dikembalikan kepada Negeri bukan diserahkan atau bahkan diambil alih oleh mata rumah lain semisal mata rumah kapitan, mata rumah soa dan yang lainnya.

Bahkan pendapat ahli juga menyebutkan bagi keturunan yang tidak terikat pernikahan yang sah baik di gereja maupun di catatan sipil tidak memiliki hak sebagai ketua mata rumah parentah yang harus dicalonkan sebagai raja.

Menariknya lagi pendapat ahli juga menyebutkan orang lain dalam mata rumah parentah, apakah itu anak dari keturunan laki-laki atau pun perempuan yang tidak menikah tidak memiliki hak untuk maju sebagai raja Jika masih ada kepala mata rumah parentah yang sah dan telah memiliki legal standing. Karena jika itu terjadi dia tidak mewakili mata rumah parentah melainkan mewakili pribadi yang tentu saja tidak dibenarkan oleh hukum adat.

Sementara itu menjawab pertanyaan pengacara penggugat intervensi, Roos Jeane Alfaris, SH.MH yang bertanya tentang kliennya yang ikut menandatangani pemilihan kepala mata rumah sehingga apakah hal itu merupakan pengakuan secara tidak langsung kepada yang bersangkutan yang merupakan anak di luar nikah bahwa ia juga telah berhak menyandang sebagai anak asli mata rumah parentah dan untuk itu ia juga berhak menjadi raja, ahli berpendapat bahwa soal pengakuan itu tidak sertamerta terjadi saat ia menandatangi pemilihan kepala mata rumah parentah melainkan sudah harus terjadi sejak awal kehadirannya dalam mata rumah parentah itu yang mesti ditandai dengan memiliki ikatan keturunan garis lurus yang bisa dibuktikan dengan kepemilikan akte kelahiran, akte perkawinan orangtuanya apakah itu secara agama maupun adat dan negara melalui catatan sipil. Bahwa sejak lahir ia sudah mendapat pengakuan dengan cara orangtuanya memanggil saudara-saudaranya untuk memberitahukan tentang adanya anak tersebut. (MM-3)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *