Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
DaerahHeadline

Sengketa Tanah Adat Rumah Tiga: Hatulesila Tantang BPN Buka Dokumen Kepemilikan

10
×

Sengketa Tanah Adat Rumah Tiga: Hatulesila Tantang BPN Buka Dokumen Kepemilikan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

AMBON,MM. – Komisi I DPRD Provinsi Maluku menggelar pertemuan penting bersama masyarakat adat Negeri Rumah Tiga, perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Maluku, Kepala Bidang Aset BPKAD Provinsi Maluku, dan Universitas Pattimura. Pertemuan ini membahas sengketa kepemilikan tanah adat dengan nomor register Eigendom 1132, 1054, dan 1204, yang diklaim sebagai milik keluarga Hatulesila, pewaris raja adat Negeri Rumah Tiga.

 

Dalam rapat tersebut, Yan Hatulesila menegaskan bahwa keluarganya memiliki dokumen kepemilikan resmi sejak tahun 1814, yang terdaftar pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

 

“Kami punya bukti lengkap. Register tanah Eigendom 1054, 1132, dan 1204 semuanya teregistrasi resmi di pemerintah Belanda. Kalau BPN bilang sudah terdaftar atas nama orang lain, mereka harus tunjukkan bukti kepemilikan dari register zaman Belanda, bukan zaman Indonesia,” tegas Hatulesila, kepada wartawan usai rapat di rumah rakyat, Karang Panjang, Ambon, Rabu (22/10/2025).

 

Ia menjelaskan, berdasarkan hukum pertanahan yang berlaku di masa kolonial, register kepemilikan Eigendom merupakan dasar legal yang sah. Karena itu, menurutnya, data baru yang muncul di masa Indonesia dengan nomor yang sama,  harus diklarifikasi secara terbuka oleh BPN dan diverifikasi oleh DPRD.

 

“Komisi I harus menjelaskan secara terang benderang kepada publik, siapa sebenarnya pemilik sah tanah tersebut,” ujarnya.

 

Yan Hatulesila yang juga mewakili mata rumah parentah Hatulesila, menuturkan bahwa leluhur mereka, Willem Hatulesila, adalah raja adat pertama di Negeri Rumah Tiga. Sebagian besar tanah dati di wilayah itu merupakan warisan adat keluarga Hatulesila.

 

“Ini bukan hanya perjuangan pribadi, tapi perjuangan adat dan sejarah negeri,” tegasnya.

 

Ia juga mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021, yang secara tegas mengatur pengembalian hak-hak masyarakat adat beserta seluruh petuanannya.

 

“Kalau ada bukti otentik dari zaman Belanda, pemerintah wajib mendaftarkan itu sebagai tanah adat. Negara harus menjamin hak hidup masyarakat adat karena tanpa masyarakat adat, tidak ada negara,” tegas Hatulesila.

 

Menurutnya, akar masalah ini berawal dari masa Orde Baru, ketika melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, seluruh negeri adat diubah menjadi desa administratif. “Saat itu semua hak adat dicabut. Tapi setelah otonomi daerah tahun 2004, negeri adat kembali diakui. Artinya, hak-hak adat harus dikembalikan,” ujarnya.

 

Ia menjelaskan, wilayah adat Negeri Rumah Tiga meliputi Dusun Wayame, Poka, dan Tihu, yang dulu merupakan bagian dari negeri induk sebelum dimekarkan menjadi desa.

 

“Semua hak dati, baik yang ada di Wayame maupun Poka, harus melalui pelepasan dari negeri induk Rumah Tiga. Desa dan kelurahan hanya bisa keluarkan surat keterangan tanah, bukan alas hak,” tandasnya.

 

Sengketa yang sedang bergulir ini mencakup lahan seluas 45 hektar di kawasan Tala, yang sebagian besar kini ditempati Universitas Pattimura, serta 85 hektar di Desa Poka yang berstatus aset pemerintah daerah. Hatulesila berharap DPRD dapat mengeluarkan rekomendasi yang berpihak pada masyarakat adat.

 

“Kami siap duduk bersama untuk menyelesaikan secara damai, yang penting hak-hak adat kami dijamin,” katanya.

Rapat kemudian diskors dengan catatan bahwa BPN Maluku harus menyerahkan dokumen lengkap sebagai bahan referensi lanjutan. Komisi I DPRD Maluku menegaskan komitmennya untuk mengawal proses penyelesaian hingga tuntas.(MM-9)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *