PIRU,MM. – Ratusan karyawan PT Spice Island Maluku (PT SIM) mendatangi Kantor Bupati Seram Bagian Barat (SBB) pada Jumat (26/9). Aksi ini dilakukan sebagai bentuk penolakan atas rencana penutupan perusahaan yang selama ini menjadi tempat mata pencaharian mereka.
Para karyawan berunjuk rasa dengan membawa spanduk dan poster tuntutann agar pemerintah daerah mengambil langkah konkret guna memastikan PT SIM tetap beroperasi di wilayah SBB. Menurut mereka, jika perusahaan ditutup, ribuan orang yang menggantungkan hidupnya akan kehilangan pekerjaan.
Izin Operasional dan Sengketa Lahan
Bupati SBB Asri Arman menerima langsung perwakilan karyawan di ruang kerjanya. Ia menegaskan bahwa pemerintah daerah berkomitmen memperjuangkan agar aktivitas PT SIM bisa tetap berjalan. Namun, menurutnya ada persoalan yang masih harus diselesaikan antara perusahaan dan pemerintah provinsi terkait izin operasional serta sengketa lahan.
“Kami akan terus melakukan komunikasi dengan pihak perusahaan dan juga pemerintah provinsi. Harapan kita semua, PT SIM tidak menutup usahanya sehingga tenaga kerja lokal tetap terserap,” kata Bupati.
Sementara itu, perwakilan manajemen PT SIM menyampaikan bahwa perusahaan tidak berkeinginan hengkang dari SBB. Pihaknya menegaskan komitmen untuk tetap beroperasi dan melanjutkan investasi, selama ada kepastian hukum serta dukungan pemerintah terkait status lahan dan perizinan.
“PT SIM berkomitmen tetap beroperasi di Seram Bagian Barat. Kami hadir untuk membangun daerah ini bersama masyarakat, namun kami juga berharap pemerintah daerah dan provinsi memberikan kepastian agar perusahaan bisa berjalan lancar tanpa gangguan,” jelas manajemen PT SIM.
Keputusan Hentikan Aktivitas Permanen
Terungkap, PT Spice Islands Maluku (SIM) ternyata telah memutuskan untuk menghentikan permanen aktivitas pengelolaan pisang abaka, di Kabupaten SBB, efektif 30 september.
Langkah hengkangnya PT SIM disampaikan dalam rapat koordinasi bersama Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa, Sekda, pimpinan dan anggota DPRD SBB, serta jajaran OPD Pemprov, yakni Kadis PTSP, Kadis Pertanian, dan Asisten Sekda, Rabu malam.
Juru Bicara Pemprov Maluku, Kasrul Selang, menjelaskan, pertemuan ini digelar setelah tim Pemda SBB kembali dari serangkaian mediasi dengan masyarakat Kawa Pelita Jaya.
Menurut laporan, Pemda dan DPRD SBB telah memfasilitasi sedikitnya empat kali pertemuan antara perusahaan dengan masyarakat. Namun, saat mediasi terakhir, PT SIM justru walk out dan menunjukkan surat penghentian permanen investasi. Padahal, dari 800 hektare izin, perusahaan baru mengelola sekitar 600 hektare, dengan hanya 15 hektare yang dipermasalahkan warga.
Gubernur Lewerissa menegaskan, pemerintah harus bersikap adil kepada kedua belah pihak, baik investor maupun masyarakat.
“PT SIM sudah berproses, beroperasi beberapa tahun, bahkan mulai panen tahun ini. Tapi apa pun itu, hak masyarakat baik sosial, keperdataan, maupun adat harus tetap dijunjung tinggi,” tegasnya.
Menurut Kasrul, Pemprov lewat Gubernur dengan kewenangannya akan mencoba mendekati atau membicarakan hal ini langsung dengan PT SIM. Selanjutnya, keputusan tetap bergantung pada pertimbangan bisnis perusahaan.
“Jadi kita mengharapkan PT SIM bisa melanjutkan investasinya. Tapi tentunya dengan syarat baik hak keperdataan, sosial, dan lain sebagainya masyarakat harus tetap dijunjung tinggi,” ujar Gubernur.
Ia mengingatkan bahwa investasi adalah kunci penting bagi Maluku yang memiliki keterbatasan fiskal. Karena itu, setiap investor yang masuk harus disambut dengan “karpet merah”, tetapi dengan syarat tegas, patuh pada regulasi, menyerap tenaga kerja lokal, menghormati adat istiadat, dan menjaga lingkungan agar investasi berkelanjutan.
“Investasi harus berjalan, tapi jangan lupakan kepentingan masyarakat. Kalau syarat-syarat itu diabaikan, maka investasi tidak akan bertahan lama,” tandas Gubernur.
Hengkangnya PT SIM memberi pelajaran penting bagi pemerintah daerah dan kabupaten/kota di Maluku. Sosialisasi yang matang kepada tokoh masyarakat, agama, dan adat sejak awal, serta keterlibatan masyarakat dalam proses perizinan dan operasional, menjadi syarat mutlak agar investasi tidak berujung konflik.(R-L/MM-9)