AMBON, MM. – Pekan Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS) bukan sekadar agenda dua tahunan. Kegiatan ini adalah tolok ukur pembinaan olahraga pelajar di tiap provinsi, ajang di mana kualitas pembinaan diuji, dan prestasi daerah dipertaruhkan. Karena itu, absennya proses seleksi terbuka untuk cabang atletik di Maluku jelang POPNAS 2025 Jakarta patut disesalkan, bahkan memunculkan pertanyaan serius tentang arah pembinaan olahraga pelajar di daerah ini.
Sudah menjadi rahasia umum, atlet-atletik Maluku dikenal tangguh. Banyak di antara mereka lahir dari sekolah dan klub kecil di kabupaten/kota, tumbuh dalam keterbatasan namun menyimpan semangat besar. Sayangnya, semangat itu seolah terhenti di meja birokrasi Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Maluku.
Menjelang perhelatan POPNAS 2025, publik dikejutkan oleh fakta bahwa Dispora tidak menggelar seleksi terbuka. Padahal, di provinsi lain seperti DKI Jakarta dan Jawa Tengah, seleksi sudah berlangsung terbuka dan transparan, semua pelajar diberi kesempatan menunjukkan kemampuan terbaik mereka di lintasan, sama halnya dengan cabang olahraga lainnya di Maluku, seperti Karate dan Wushu.
Kepala Dispora Maluku, Sandi Wattimena beralasan anggaran terbatas. Sebuah jawaban yang justru menyingkap persoalan mendasar, lemahnya kemauan untuk membina olahraga pelajar secara profesional. Padahal, anggaran bukan satu-satunya ukuran. Transparansi dan kemauan untuk membangun sistem yang adil jauh lebih penting.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Kepala Dispora berdalih bahwa aturan POPNAS hanya membolehkan atlet dari Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) atau kini disebut SPOBDA. Alasan ini, menurut penggiat olahraga, hanyalah tafsir sepihak tanpa dasar regulasi yang sah. Faktanya, syarat utama POPNAS hanya menegaskan peserta harus berstatus pelajar aktif, warga negara Indonesia, sehat jasmani, dan sesuai batas usia.
Artinya, seluruh pelajar di Maluku seharusnya memiliki hak yang sama untuk mengikuti seleksi tanpa terkecuali. Jika seleksi tidak dilakukan, bagaimana mungkin publik percaya bahwa atlet yang berangkat adalah hasil pembinaan terbaik?
Dalam konteks visi besar Sapta Cita Lawamena Gubernur Hendrik Lewerissa, yang menempatkan penguatan SDM sebagai prioritas ketiga pembangunan, langkah Dispora ini jelas kontradiktif. Pembinaan olahraga pelajar adalah bagian dari investasi SDM masa depan. Ia bukan formalitas seremonial, tetapi ruang pembuktian bagi generasi muda Maluku untuk tampil di panggung nasional.
Apalagi, POPNAS bukan sekadar ajang eksistensi, melainkan ruang regenerasi. Tanpa seleksi terbuka, potensi atlet muda dari kabupaten seperti Buru, Aru, atau Tanimbar tidak pernah terlihat. Bibit unggul terpendam di lapangan sekolah bisa hilang tanpa jejak hanya karena sistem tertutup yang mengutamakan jalur instan.
Dispora berdalih “hasil kejurnas” sebagai dasar pemilihan atlet. Namun, justru di sinilah titik lemahnya, sebagian atlet hasil kejurnas belum menunjukkan prestasi signifikan. Jika yang berangkat bukan yang terbaik, maka Maluku hanya akan menjadi peserta tanpa harapan medali, sekadar mengisi daftar, bukan menorehkan prestasi.
Kini bola ada di tangan Gubernur Maluku. Kritik yang mengalir deras dari penggiat olahraga dan pelatih seharusnya tidak diabaikan. Gubernur perlu menegaskan bahwa olahraga pelajar adalah fondasi pembentukan karakter bangsa. Ketegasan diperlukan agar POPNAS tidak menjadi ajang formalitas, tetapi panggung prestasi yang lahir dari proses pembinaan yang jujur dan terbuka.
POPNAS 2025 tinggal hitungan minggu. Entry by name akan ditutup pada 30 Oktober. Waktu semakin sempit, tetapi belum terlambat untuk menunjukkan keseriusan. Seleksi terbuka mungkin tak bisa lagi dilakukan secara penuh, namun evaluasi dan transparansi tetap bisa dijalankan.
Karena pada akhirnya, Maluku tidak hanya butuh atlet yang berlari cepat, tetapi juga sistem pembinaan yang jujur, adil, dan berdaya saing. Jika tidak, jangankan medali, semangat olahraga pelajar pun perlahan akan kehilangan maknanya.(MM-9)