AMBON,MM. – Satu minggu kedepan, masyarakat Maluku sudah akan menentukan pilihan untuk memilih Gubernur-Wakil Gubernur periode 2025-2030, pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak (Pilkada) serentak.
Masyarakat di negeri para raja diajak dalam pesta demokrasi 27 November mendatang, memilih pemimpin berkualitas, yang mampu merealisasikan program kerja untuk kepentingan publik, bukan pemimpin yang mementingkan diri dan kelompok.
“Pemilu harus berfikir kritis, memanfaatkan hak suaranya secara lebih cerdas, karena ini berkaitan dengan keputusan yang saudara buat dalam melahirkan pemimpin yang berkualitas,”ujar Akademisi Universitas Pattimura Ambon, Wahab Tuanaya dalam coffee morning yang diselenggarakan Pemerintah Daerah Maluku, di panorama coffee, Senin (18/11/2024). Dengan sub tema “Pemilih Cerdas Hasilkan Pemimpin Berkualitas”.
Ia menuturkan, dalam demokrasi, kekuatan yang sejatinya ada ditangan rakyat, memberikan suara dalam pemilu, bukan merupakan masalah angka-angka. Tetapi masalahnya ini berkaitan dengan keputusan menentukan masa depan bangsa, dan negara termasuk menentukan masa depan daerah, dimana daerah itu dilangsungkan.
Sayangnya, masih ada sebagian besar pemilih yang memilih mengikuti arus, bahkan dipengaruhi dengan iming-iming uang dan identitas politik. Hal ini beresiko terhadap kualitas demokrasi, dan juga memberi peluang lahirnya pemimpin yang tidak berkompeten, dengan visi misi yang tidak kuat, dan pemimpin tersebut cenderung untuk mementingkan pribadi dan kelompok, dari kepentingan publik.
Disinilah diperlukan pemilih yang cerdas dan kritis, yang tidak memilih terhadap sentimen semata, melainkan memilih dengan memahami visi misi dari kandidat yang dipilih, termasuk program kerja yang ditawarkan, bukan janji-janji kosong yang disampaikan. mereka memilih, Karena mereka memilih karena track record, rekam jejak dari kandidat yang bersaing dalam Pilkada.
“Kalau demikian adanya, maka kita tidak perlu khawatir lagi, karena jika pemilih cerdas dan kritis tentu pemimpin yang tidak berkompeten akan terseleksi dengan sendirinya, dan pemimpin yang cerdas akan mampu menghindari diri dari politik uang dan identitas,”tandasnya.
Sejatinya politik uang, lanjut Tuanaya akar masalah dikarenakan lemahnya penegakan hukum dan kurangnya pendidikan politik. sehingga ruang ini terbuka, sehingga praktek-praktek ini tetap jalan dalam setiap pemilihan.
Untuk itu, agar kita menghasilkan pimpinan yang berkualitas lewat pemilu yang baik, maka penegakan hukum terhadap mereka yang memanfaatkan politik uang dalam kerangka untuk mendapat dukungan ini, harus betul-betul tegas dilakukan.
“jika ini tidak dilakukan maka akan terus tetap berjalan,”ucapnya.
Namun dilain sisi jika politik uang dibiarkan, akan muncul kecenderungan terjadinya korupsi pasca pemilihan, karena mereka berupaya mengembalikan modal yang dikeluarkan selama kontestasi politik, dan ini membahayakan dalam penyelenggaraan pemerintah kedepan.
Sementara politik identitas, jelasnya sering digunakan perbedaan agama, suku, dan ras, untuk menyerang kelompok tertentu guna mendapat dukungan dari masyarakat. Hal ini berimplikasi negatif sangat signifikan, yakni membuat keresahan ditengah masyarakat, yang mengancam terjadinya perpecahan di masyarakat. Karena identitas yang selalu di sodorkan untuk menjelekan kontestasi yang lain. Selain itu, politik identitas juga membuka ruang terjadinya diskrimilisasi dan radikalisme.
“Kalau kita berfikir ada ruang kearah sana, mereka yang diserang habis-habisan lewat suku ras, agama, membuat mereka terasa dikriminalisasi dan memunculkan radikalisme ditengah-tengah mereka,”bebernya.
Untuk itu, kedepan ia menyarankan agar adanya upaya dalam membangun kesadaran pemilih agar dapat menggunakan hak pilih secara cerdas dan kritis.
“Perlunya pendidikan politik yang disampaikan lembaga rekomendasikan berkompeten melakukan itu, dengan begitu maka dapat duiharapkan terjadinya peningkatan pengetahuan masyarakat atas pemahaman politik mereka,”pungkasnya. (MM-9)