AMBON,MM. – Wilayah adat, bukanlah sekedar tanah, namun adalah bagian integral dari identitas serta budaya sakral yang diwariskan para leluhur turun temurun, disertai pesan agar tetap dijaga secara utuh untuk generasi mendatang.
Bagi masyarakat adat di Kecamatan Tehoru, kabupaten Maluku Tengah (Malteng) Maluku yang mendiami Pulau Seram, alam wajib dijaga dan dirawat, karena merupakan ibu yang memberikan kehidupan untuk semua anak-anak yang hidup diatasnya. Karena itu, pesan sakral leluhur untuk menjaga alam sebagai sumber kehidupan untuk diwariskan kepada generasi mendatang, wajib diteruskan. Karena menjaga tanah ulayat, sama dengan menjaga keberlangsungan hidup kedepan.
Mirisnya, ditengah serbuan investasi dan kebijakan pemerintah yang mengancam keberadaan dan eksistensi masyarakat adat, pesan dari datuk-datuk dan leluhur menjadi tanggung jawab berat yang harus dipikul. Hal inilah yang menyebabkan para Latupati Kecamatan Tehoru, menggelar musyawarah adat yang telah berlangsung di Balai Negeri Hatumete, Sabtu (22/2).
Musyawarah adat merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun sejak dulu oleh masyarakat adat, untuk mencapai suatu kesepakatan atau mufakat.
Musyawarah Adat Latupati yang berlangsung sejak pukul 15.00 WIT hingga pukul 19.27 WIT, melibatkan berbagai elemen masyarakat adat yang berasal dari 10 Negeri di Kecamatan Tehoru, yaitu Negeri Haya, Tehoru, Salamahu, Saunulu, Yaputih, Piliana, Hatu, Hatumete, Telutih Baru dan Moso. Mereka sepakat untuk mendorong Pengesahan Peraturan Daerah Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
Para raja, tetua adat, pemuda adat, perempuan adat dan masyarakat adat yang merupakan perwakilan dari masing-masing negeri hadir, untuk merawat komitmen bersama melindungi harkat dan martabat masyarakat adat.
Raja Moso, Humaidi Tehuayo mengungkapkan bahwa, pengesahan peraturan daerah yang melindungi hak-hak adat di Maluku Tengah adalah payung hukum.
“Katong (Red-kita) bersepakat untuk mempertahankan katong punya hak-hak adat dan ulayat, katong berjuang untuk anak cucu dan generasi yang akan datang,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan Raja Hatumete (Ketua Latupati Kecamatan Tehoru) dan Raja-Raja lainnya di Kecamatan Tehoru, yang dengan tegas mendesak Pemerintah Daerah Maluku Tengah segera sahkan perda adat.
Tolak Pemasangan Pal HPK dan Kecam Pengrusakan Sasi Adat
Masyarakat adat 10 Negeri ini juga membahas kelanjutan penolakan alih fungsi kawasan hutan menjadi Hutan Produksi Konversi (HPK). Selain itu, juga dibicarakan berbagai ancaman perampasan ruang hidup yang terjadi didepan mata mereka, seperti pelanggaran sasi di Negeri Haya yang terjadi baru-baru ini. Upaya pelemahan terhadap hukum adat ini diniai justru menguntungkan pihak korporasi.
Ketua Latupati, Bernard Lilihata menyatakan, “Latupati Kecamatan Tehoru mengecam upaya pelemahan terhadap hukum adat, dengan cara-cara tidak terhormat untuk merusak sasi adat.
“Harusnya pihak keamanan tidak hanya menangkap pelaku perusak fasilitas PT. Waragonda, namun sebaliknya mengusut tuntas permasalahan penghancuran sasi adat,”tegasnya.
Pengrusakan sasi adat telah menimbulkan kemarahan masyarakat adat yang berdampak pada dibakarnya kantor PT Waragonda Minerals Pratama, Sabtu, Minggu Lalu.
Musyawarah adat ini mendapat dukungan penuh masyarakat adat dari 10 Negeri di Kecamatan Tehoru, untuk perjuangan tolak HPK, serta keadilan bagi identitas adat khususnya di Haya dan umumnya di Kecamatan Tehoru dan Maluku Tengah.
Hal paling penting dalam musyawarah ini adalah suara bulat Masyarakat Adat untuk memastikan komitmen Pemerintah Daerah dan DPRD dalam rangka mengesahkan pengakuan dan perlindungan bagi mereka.
Musyawarah berakhir dengan doa adat penutup dari Manlao A. Timanoyo, Tua Adat asal Negeri Hatu.(MM)