AMBO, MM. – Tour hari ke-2 wartawan mitra Bank Indonesia (BI) Cabang Maluku di Makassar dalam rangka Capacity Building selama 4 hari di Makassar, diisi dengan mengunjungi sebuah pusat pengrajin tenun yang dikenal dengan sebutan Tenun Ikat Fenisa 05.
Sentra tenun ikat Fenisa 05 beralamat. di Jl. Telegraph III Blok C3 No. 55, Telkomas, Kelurahan Berua, Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.
Adapun tenun ikat Fenisa 05 dikenal sebagai salah satu UMKM penghasil Tenun ikat sekomandi, tenun khas Sulawesi Selatan yang sarat makna.
Nama Sekomandia , berasal dari bahasa lokal, Seko yang berarti persahabatan dan kekerabatan, dan kata Mandi yang berarti kekuatan dan ketegasan.
Filosofi itu, kata Lindayati, tercermin dalam proses panjang penuh ketelitian dalam setiap helai kain.
Harga kain tenun ikat Fenisa 05 ini cukup mahal yaitu dibanderol dengan harga Rp1,5 juta hingga Rp3,5 juta. Tergantung pada motif dan tingkat kerumitan proses pembuatan.
“Jadi harga tenun ikat ini cukup mahal, sehingga terkadang orang/pembeli kaget, namun setelah mereka tahu prosesnya dari awal sampai menjadi kain maka, mereka akhirnya memahami bahwa harga itu sebanding dengan kerja keras sampai menjadi kain tenun,” sebutnya.
Setelah rombongan wartawan berada di Sentra tenun ikat Fenisa 05 di Jl. Telegraph III Blok C3 No. 55, Telkomas, Kelurahan Berua, Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan ternyata selain memiliki motif dan ciri khas yang unik, tetapi tenun ini juga mempunyai prospek ekonomi yang sangat menjanjikan.
Diketahui pula jika ternyata usaha skala UMKM ini dilakukan secara turun temurun oleh keluarga Ibu Lindayati, kini sudah menembus pasar global.
Saat ditemui rombongan BI dan Wartawan dari Ambon Maluku di tempat usahanya di Makassar Kamis (9/10/2025), Ibu Lindayati menjelaskan bahwa, tenun ikat ini memiliki keunikan tersendiri karena mempunyai nilai budaya yang penuh makna.
“Awalnya, usaha ini kami lakukan sendiri dengan nilai pasaran biasa-biasa saja (lokal), namun setelah ada perhatian dan bantuan dari Bank Indonesia (BI) di Makassar, maka usaha kami mulai berkembang pesat bahkan sudah bisa dipasaran baik lokal, regional, nasional dan bahkan internasional,” ungkap Ibu Lindayati.
Usaha tenun ikat ini dimulai sejak tahun 2007 hingga sekarang. “Alhamdulillah, terima kasih banyak atas kunjungan dari rombongan BI Maluku dan saya merasa senang karena leluhur saya juga berasal dari Maluku,” tambahnya.
Menurut Lindayati, usaha ini bisa berjalan karena warisan dari keluarga dan setiap helai tenun mempunyai cerita tersendiri.
Dikatakan, untuk menghasilkan warna kain yang kuat dan tahan lama, maka proses pewarnaan benang dilakukan secara tradisional dengan menggunakan bumbu dapur seperti cabai dan rempah alami seperti serai dan lengkuas, dengan fermentasi warna membutuhkan waktu 10 sampai 15 hari.
Sedangkan untuk pengikatan motif, setiap kain memerlukan waktu sekitar tiga bulan hingga siap untuk dijual secara online melalui Instagram (IG) dan WhatsApp (WA).
Tahun 2018 tenun ikat ini mulai dikenal luas di masyarakat setelah tampil dalam sejumlah pameran dan ajang fashion show nasional di Jakarta.
Tenun ikat tidak hanya dijual dalam bentuk kain namun, Ibu Lindayati berkolaborasi dengan desainer untuk membuat jaket dan baju gamis dan ternyata peminatnya cukup banyak.
Tenun ikat milik Ibu Lindayati ini juga ada di Ambon Maluku sehingga kunjungan ini penting untuk saling mengetahui dan membangun relasi yang baik.
“ Saya sangat bersyukur karena menjadi binaan dari Bank Indonesia,” tutupnya.(MM-3)

















