Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
AmboinaHeadline

Keluarga Hatulesila Pasang Sasi, Supermarket Dian Pertiwi Ambon Tidak Beroperasi

7
×

Keluarga Hatulesila Pasang Sasi, Supermarket Dian Pertiwi Ambon Tidak Beroperasi

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

AMBON,MM.- Supermarket Dian Pertiwi di Poka, Ambon, Maluku, tidak beroperasi setelah dilakukan sasi oleh keluarga Hatulesila pada Sabtu (25/10/2025) sekira pukul 16.50 WIT. Aksi ini dilakukan terkait klaim lahan oleh keluarga Hatulesila sebagai ahli waris Dati Tihu.

 

Massa yang melakukan prosesi adat berjalan kaki dari matarumah Hatulesila, Negeri Rumahtiga, ke Supermarket Dian Pertiwi dengan menggunakan pakaian adat serba hitam dan ikat kepala lenso merah. Prosesi adat ini diikuti oleh belasan orang dan dilakukan dengan pengawalan ketat pihak kepolisian.

 

Dalam prosesi adat, mereka memasang sasi berupa tombak kelapa di pintu masuk Supermarket Dian Pertiwi sebagai tanda tutup sementara toko tersebut,  sampai persoalan sengketa lahan tuntas. Prosesi adat berjalan dengan tertib dan tanpa ada perlawanan dari pihak Supermarket Dian Pertiwi.

 

Menurut pihak Polsek Teluk Ambon, aksi ini terkait dengan sengketa lahan antara pihak keluarga Hatulesila dan pengelola Supermarket Dian Pertiwi. Pemasangan sasi dilakukan untuk menutup sementara toko tersebut sampai persoalan sengketa lahan tuntas.

Dari pantauan, hingga Minggu, 26 Oktober 2025 pukul 17.00 WIT, sasi masih terpasang pada pintu masuk swalayan dan suasana tampak sepi.

 

Sengketa Tanah Adat Rumah Tiga

 

Komisi I DPRD Provinsi Maluku menggelar pertemuan penting bersama masyarakat adat Negeri Rumah Tiga, perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Maluku, Kepala Bidang Aset BPKAD Provinsi Maluku, dan Universitas Pattimura. Pertemuan ini membahas sengketa kepemilikan tanah adat dengan nomor register Ehendom 1132, 1054, dan 1204, yang diklaim sebagai milik keluarga Hatulesila, pewaris raja adat Negeri Rumah Tiga.

 

Dalam rapat tersebut, Yan Hatulesila menegaskan bahwa keluarganya memiliki dokumen kepemilikan resmi sejak tahun 1814, yang terdaftar pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

 

“Kami punya bukti lengkap. Register tanah Ehendom 1054, 1132, dan 1204 semuanya teregistrasi resmi di pemerintah Belanda. Kalau BPN bilang sudah terdaftar atas nama orang lain, mereka harus tunjukkan bukti kepemilikan dari register zaman Belanda, bukan zaman Indonesia,” tegas Hatulesila, kepada wartawan usai rapat di rumah rakyat, karang panjang, Ambon, Rabu (22/10/2025).

 

 

Ia menjelaskan, berdasarkan hukum pertanahan yang berlaku di masa kolonial, register kepemilikan Ehendom merupakan dasar legal yang sah. Karena itu, menurutnya, data baru yang muncul di masa Indonesia dengan nomor yang sama harus diklarifikasi secara terbuka oleh BPN dan diverifikasi oleh DPRD.

 

“Komisi I harus menjelaskan secara terang benderang kepada publik, siapa sebenarnya pemilik sah tanah tersebut,” ujarnya.

 

Hatulesila yang juga mewakili mata rumah parentah Hatulesila, menuturkan bahwa leluhur mereka, Willem Hatulesila, adalah raja adat pertama di Negeri Rumah Tiga. Ia menegaskan, sebagian besar tanah dati di wilayah itu merupakan warisan adat keluarga Hatulesila.

“Ini bukan hanya perjuangan pribadi, tapi perjuangan adat dan sejarah negeri,” katanya.

 

Ia juga mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021, yang secara tegas mengatur pengembalian hak-hak masyarakat adat beserta seluruh petuanannya.

 

“Kalau ada bukti otentik dari zaman Belanda, pemerintah wajib mendaftarkan itu sebagai tanah adat. Negara harus menjamin hak hidup masyarakat adat karena tanpa masyarakat adat, tidak ada negara,” tegas Hatulesila.

 

Menurutnya, akar masalah ini berawal dari masa Orde Baru, ketika melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, seluruh negeri adat diubah menjadi desa administratif. “Saat itu semua hak adat dicabut. Tapi setelah otonomi daerah tahun 2004, negeri adat kembali diakui. Artinya, hak-hak adat harus dikembalikan,” ujarnya.

 

Ia menjelaskan, wilayah adat Negeri Rumah Tiga meliputi Dusun Wayame, Poka, dan Tihu, yang dulu merupakan bagian dari negeri induk sebelum dimekarkan menjadi desa.

 

“Semua hak dati, baik yang ada di Wayame maupun Poka, harus melalui pelepasan dari negeri induk Rumah Tiga. Desa dan kelurahan hanya bisa keluarkan surat keterangan tanah, bukan alas hak,” tandasnya.

 

Sengketa yang sedang bergulir ini mencakup lahan seluas 45 hektar di kawasan Tala, yang sebagian besar kini ditempati Universitas Pattimura, serta 85 hektar di Desa Poka yang berstatus aset pemerintah daerah. Hatulesila berharap DPRD dapat mengeluarkan rekomendasi yang berpihak pada masyarakat adat.

 

“Kami siap duduk bersama untuk menyelesaikan secara damai, yang penting hak-hak adat kami dijamin,” katanya. (MM-9)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *