AMBON,MM. – Tim 11 diketuai Ongen Selanno yang dibentuk oleh Evans Reynold Alfons, ahli waris 20 dusun/dati untuk mengawasi aset sekaligus mengukur dan mendata kembali masyarakat yang mendiami kawasan tersebut, menemukan adanya dugaan sertifikat yang diterbitkan BPN Kota Ambon secara ilegal.
Pengakuan tersebut disampaikan Ongen Selano didampingi Evans Alfons kepada sejumlah media, kemarin.
Selanno mengakui jika dirinya ditugaskan oleh Alfons dalam tim 11, bertugas untuk melakukan 3 hal. Pertama, mengawasi dan melakukan pengukuran atas segala kegiatan yang berlangsung di atas tanah dusun 20 dusun Dati di Negeri Urimessing Kecamatan Nusaniwe dan sebagian di Kecamatan Sirimau Kota Ambon.
Dua. Melarang segala kegiatan yang dilakukan di atas tanah tersebut tanpa sepengetahuan dan persetujuan Pemberi kuasa, termasuk tetapi tidak tidak terbatas pada pembangunan penggalian, atau aktivitas lainnya yang dapat mengubah kondisi fisik atau status hukum tanah tersebut.
Tiga. Berkoordinasi terus menerus dengan Ongen Selanno terkait setiap tindakan yang diambil dalam pelaksanaan tugas ini, serta melaporkan setiap kejadian-kejadian yang dianggap penting kepada pemberi kuasa.
Menurut Selano, tim 11 telah mendatangi beberapa Dati sesuai tugas yang diberikan, dan menemukan sejumlah keganjilan, bahkan sejumlah masalah yang berseberangan dengan tugasnya melakukan pengawasan dan pengukuran.
Satu di antaranya terjadi di dusun Dati Kate-kate atau di Kezia, terkait dengan soal sertifikat milik Tonny Kusdianto yang telah dilakukan eksekusi menyusul Putusan Pengadilan Negeri Ambon dan juga Mahkamah Agung yang telah memiliki kekuatan hukum tetap bahkan telah dilakukan eksekusi atasnya.
Namun saat dirinya hendak melakukan upaya balik nama, pihak BPN malah memintanya untuk melakukan pendaftaran ulang. Selanno menyayangkan, karena sertifikat tersebut diduga bodong, mengingat pihak BPN tak dapat memperlihatkan arsip atau bukti lahirnya sertifikat tersebut.
“Pihak BPN hanya bisa memberikan keterangan jika pemilik sertifikat itu memperoleh tanah tersebut dengan membelinya dari Johanes Tisera alias Buke.(Saat ini sebagai Kepala Pemerintah atau Raja negeri Urimessing),”ujarnya.
Dengan demikian menurutnya ia patut menduga sertifikat tersebut terlahir dengan cara yang kurang profesional.
Selain itu ia juga menyebutkan beberapa kejadian lain seperti warga yang mendiami dusun yang menjadi milik Alfon, s akan tetapi mengaku membeli atau memperoleh hak dari desa Amahusu. Kabarnya warga memperoleh hak dari desa Amahusu kemudian menjual sebagian dari lokasi tersebut dengan harga Rp.15 juta kepada tetangganya.
Persoalan lainnya adalah adanya beberapa pengumuman “liar” dari pihak yang telah kalah dalam putusan Pengadilan, tetapi justru melakukan komunikasi dengan memancang pengumuman dengan tulisan larangan.
“Padahal isi putusan dan nomor perkara itu telah dinyatakan kalah oleh pihak Pengadilan. Bahkan ada warga yang mengaku telah mendiami lokasi tempat tinggalnya sejak tahun 1977 dan telah memiliki sertifikat atasnya, namun sayangnya tak mau memperlihatkan sertifikatnya.,”kata Selanno.
Menariknya lagi di beberapa RT malah mengecam timnya serta menawarkan pertemuan lanjutan setelah berkoordinasi dengan lurah setempat terlebih dahulu. (MM-3)