PIRU,MM. – Peresmian Baileo Hena Hatutelu di Negeri Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, menjadi momentum penting pelestarian budaya dan persaudaraan masyarakat Maluku. Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, meresmikan bangunan adat ini dengan upacara adat yang meriah, Selasa (30/9/2025).
Kedatangan gubernur Maluku disambut tabuhan tifa mengiringi tarian cakalele yang dibawakan dengan gagah oleh para pemuda adat.
Kain gandong kemudian dibentangkan, melingkari orang nomor satu di Maluku itu, sebagai Simbol persaudaraan abadi. Seolah menegaskan pesan leluhur, bahwa setiap orang Maluku, meski berbeda negeri, tetap satu darah, satu rasa, satu ikatan.
Di tengah suasana adat nan sakral itu, Lewerissa melangkah menuju bangunan yang berdiri kokoh, Baileo Hena Hatutelu. Rumah adat yang baru selesai dibangun ini akhirnya diresmikan, ditandai dengan penandatanganan prasasti dan pemotongan pita, disaksikan raja-raja, tokoh adat, pemerintah daerah, dan ratusan masyarakat setempat.
Dalam sambutannya, Gubernur tak bisa menyembunyikan rasa bangga. “Atas nama pemerintah provinsi Maluku, saya merasa bangga dapat berjumpa dengan basudara semua di kota Piru. Saya yakin niat baik dan tekad untuk melestarikan sejarah dan budaya masyarakat Seram Barat merupakan hal yang sangat mulia,” ujarnya,
Bagi Lewerissa, baileo bukan sekadar bangunan. Ia adalah simbol hidup orang Maluku, tempat musyawarah, pusat pengambilan keputusan adat, sekaligus ruang pemersatu. Baileo merepresentasikan kearifan leluhur yang diwariskan dari generasi ke generasi, agar manusia Maluku selalu hidup berakhlak, berbudaya, dan saling menjaga.
Lebih jauh, Lewerissa mengingatkan bahwa Maluku adalah wilayah yang kaya adat. Negeri-negeri adat dibangun di atas kecerdasan kultural yang menata pranata-pranata sosial dengan tertib, berwibawa, dan demokratis. Karena itu, katanya, setiap anak negeri memikul tanggung jawab untuk menjaga eksistensi budaya itu agar tidak punah.
Pemerintah provinsi, tegasnya, sudah berkomitmen melalui Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2005 tentang penetapan kembali negeri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Regulasi ini menjadi payung bagi penguatan pranata adat sebagai modal sosial dalam pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat.
“Pembangunan yang berakar pada budaya lokal adalah sebuah keniscayaan. Sebaliknya, pembangunan yang menyingkirkan kosmologi dan budaya lokal akan kehilangan makna dan hanya melahirkan krisis sosial,” tandasnya.
Momentum peresmian Baileo Hena Hatutelu, menurut Gubernur, harus dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur budaya Maluku. Dari pela dan gandong yang mengikat negeri-negeri, falsafah siwalima yang menyatukan kepulauan, hingga pamahanu nusa, saka mese nusa, lolik lalen fedak fena, larvul ngabal, dan kalwedo kidabela yang terus diajarkan dari generasi ke generasi.
“Semoga baileo ini menjadi simbol jati diri masyarakat Piru sekaligus mempererat persaudaraan sejati sebagaimana falsafah hidup orang basudara: potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa, sagu salempeng dibagi dua,” ucapnya penuh harap.
Bagi masyarakat Piru, keberadaan Baileo Hena Hatutelu lebih dari sekadar rumah adat. Ia adalah rumah persaudaraan, tempat anak negeri belajar saling memahami, saling mempercayai, saling membanggakan, hingga saling menghidupi.
Saat matahari mulai condong ke barat, prosesi adat ditutup dengan doa bersama. Suasana khidmat tercipta, menyatukan semua yang hadir dalam ikatan kultural yang telah lama menjadi roh orang Maluku: hidup orang basudara.
Kini, Baileo Hena Hatutelu berdiri tegak di Piru, menjadi penanda perjalanan sejarah, penjaga kearifan lokal, dan simbol peradaban yang akan diwariskan kepada anak cucu.(MM-9)