Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
DaerahHeadline

Warga Rumahtiga Duduki Gedung  DPRD Maluku, Tuntut Penyelesaian Masalah Tanah Adat

6
×

Warga Rumahtiga Duduki Gedung  DPRD Maluku, Tuntut Penyelesaian Masalah Tanah Adat

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

AMBON,MM. – Ratusan masyarakat adat Negeri Rumahtiga berbondong-bondong mendatangi gedung rakyat, menuntut keadilan atas kepemilikan tanah adat yang mereka klaim telah diganggu dan digunakan tanpa izin oleh pihak lain. Suasana Kantor DPRD Provinsi Maluku yang berada di Karang Panjang, Ambon, Senin (13/10), mendadak memanas.

 

Massa membawa spanduk, berorasi lantang, hingga membakar ban di halaman gedung dewan. Mereka menuntut DPRD turun tangan menyelesaikan sengketa tanah adat yang mencakup wilayah Rumahtiga, Poka, Wayame, dan Tihu, yang secara historis merupakan bagian dari hak ulayat keluarga besar Hatulesila.

 

“Kami datang bukan untuk anarki, tapi menuntut keadilan. Tanah adat kami dipakai tanpa izin, ahli waris tidak pernah dilibatkan, bahkan sebagian sudah disertifikatkan tanpa dasar hukum,” tegas Adam Rahantan, perwakilan masyarakat adat Rumahtiga saat menyerahkan pernyataan sikap.

 

Dalam dokumen aspirasi yang diserahkan kepada pimpinan DPRD, masyarakat adat menegaskan bahwa Negeri Rumahtiga telah eksis sejak abad ke-17, dipimpin oleh Raja Willem Hatulesila (Latu Utu) sebagai kepala adat dan soa parentah. Mereka menilai sejumlah proyek pembangunan, termasuk tugu Prof. Dr. A.G. Siwabessy di kawasan Unpatti, berdiri di atas tanah adat yang belum dibayar atau diselesaikan secara hukum.

 

“Kalau suara kami diabaikan, maka kami akan ambil langkah adat — dengan sasi di lokasi-lokasi yang disengketakan,” ancam Rahantan yang disambut teriakan dukungan dari massa.

 

Masyarakat adat menuntut DPRD untuk membela hak kepemilikan tanah adat Rumahtiga sesuai prinsip reformasi agraria. Memanggil BPN Kota Ambon, Biro Hukum Pemprov Maluku, dan Unpatti guna menyelesaikan proses ganti rugi.

 

Meninjau kembali Sertifikat Hak Pakai Pemda Maluku (HGB No. 02/1994) yang diduga terbit di atas tanah adat Dati Tihu tanpa pelepasan dari ahli waris Hatulesila.

 

Menanggapi hal tersebut, Ketua DPRD Maluku, Benhur George Watubun, langsung menerima perwakilan masyarakat di ruang Komisi I. Dalam dialog terbuka itu, Benhur menegaskan komitmen DPRD untuk menjadi penengah, namun mengingatkan pentingnya bukti hukum yang kuat agar langkah yang diambil tidak menimbulkan bias kepemilikan.

 

“Kami siap memfasilitasi dan mencari jalan terbaik, tapi keputusan DPRD harus berdiri di atas data yang akurat. Kalau datanya tidak kuat, kita justru bisa menimbulkan konflik baru,” ujar Benhur.

 

Ia menekankan, persoalan tanah adat di Ambon sering kali rumit karena tumpang tindih kepemilikan dan lemahnya administrasi masa lalu.

 

“Harus tegas menentukan bidang tanah yang dimaksud. Negeri ini luas, dari Poka, Rumahtiga, Wayame hingga dusun-dusun sekitar. Semua harus jelas batasnya agar kami punya dasar hukum untuk bertindak,” tambahnya.

 

Watubun juga mengingatkan bahwa banyak kasus sengketa tanah berawal dari transaksi pribadi antara pemilik adat dan pengusaha tanpa sepengetahuan pemerintah, yang kemudian berujung konflik.

 

“Kadang tanah dijual diam-diam, tapi saat bermasalah baru datang tuduh ada mafia tanah. Karena itu, ke depan, semua urusan tanah adat harus transparan dan disertai administrasi resmi,” tegas politisi PDI Perjuangan itu.

 

DPRD, lanjut Benhur, akan mempelajari seluruh dokumen masyarakat adat, termasuk memanggil pihak-pihak terkait, mulai dari Pemprov, BPN, hingga Unpatti, sebelum mengeluarkan rekomendasi resmi.

 

“Kami berpihak pada yang memiliki hak sah berdasarkan hukum. Kalau bukti itu kuat, maka DPRD akan mengambil sikap politik yang tegas demi keadilan masyarakat adat,” ungkapnya.

 

Watubun memastikan, hasil tindak lanjut dari pertemuan tersebut akan diumumkan secara terbuka kepada publik.

 

“Kami akan laporkan perkembangannya secara transparan. Semua prosesnya akan disampaikan dalam konferensi pers, agar masyarakat tahu bahwa DPRD tidak tinggal diam,” tutupnya.

 

Aksi masyarakat adat ini menjadi satu dari sekian banyak sinyal kuat bahwa konflik tanah adat di Maluku masih menjadi bara yang sewaktu-waktu bisa menyala, jika tak segera ditangani dengan kebijakan yang adil dan berpihak pada kebenaran sejarah.(MM-9)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *