NAMLEA,MM. – Kekuatiran terjadinya pencemaran lingkungan sebagai dampak dari aktivitas tambang emas illegal secara tidak terkendali di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Pulau Buru, Maluku mulai terbukti.
Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, dan Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin saat meninjau RSUD Namlea dalam kunjungan kerja ke Kabupaten Buru, pekan kemarin, menemukan pasien yang sedang dirawat akibat terpapar logam berat merkuri (Hg) dan sianida (CN-), yang diduga berasal dari aktivitas tambang emas ilegal di kawasan Gunung Botak.
“Ini bukan laporan di atas kertas, ini nyata. Kami menyaksikan langsung,” kata Gubernur Hendrik dengan nada prihatin.
Didampingi Bupati Buru, Ikram Umasugi, Gubernur dan Menkes melihat secara langsung kondisi pasien yang menjadi korban pencemaran lingkungan akibat penggunaan bahan kimia beracun dalam pertambangan tanpa izin. Kondisi ini memicu keprihatinan mendalam dan mendorong seruan tegas kepada masyarakat untuk menghentikan praktik tambang ilegal.
“Sudah ada korban. Masyarakat harus sadar bahwa merkuri dan sianida membunuh secara perlahan,” kata Gubernur.
Ia menyebutkan penggunaan bahan berbahaya di Gunung Botak telah mencapai titik ekstrem.
Sebagai Gubernur, ia tidak akan membiarkan praktek penggunaan bahan kimia ini terus terjadi, yang memperparah kerusakan lingkungan, termasuk kesehatan masyarakat.
Gubernur menyatakan tetap komitmen dengan sikapnya untuk segera menutup seluruh aktifitas tambang ilegal, dengan melibatkan aparat kepolisian dan TNI.
“Pasti secepatnya kita akan tutup,”tegasnya.
Penertiban Gunung Botak
Dalam rapat terbatas dipimpin Gubernur, Hendrik Lewerissa bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di kantor Gubernur, awal Juli lalu, disepakati untuk melakukan penertiban kawasan Gunung Botak dari penambang ilegal. Pertemuan dihadiri Kapolda, Pangdam XV Pattimura, Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah Maluku, Bupati Buru dan para pemangku kepentingan lainnya.
Penertiban tambang emas ilegal yang telah menelan puluhan korban jiwa ini telah dilakukan puluhan kali, namun tidak membuahkan hasil. Sejak tahun 2021-2022 penertiban dilakukan Polres Buru sebanyak 3 kali, termasuk razia pada Januari-Juni dan Agustus. Hasilnya 1.500 penambang ilegal diturunkan.
Kemudian pada tahun 2023, penertiban kembali dilakukan sebagian dari Operasi PETI Salawaku II, dengan pemusnahan 1.200 tenda dan ratusan lubang tanah. Selanjutnya, pada awal Juni 2024, aparat kembali melakukan razia selama tiga tahap (preemtif, preventif, penindakan hukum) pada 3-9 Juni, dan berhasil menurunkan 1.000 penambang.
Juru bicara pemerintah Provinsi Maluku, Kasrul Selang menjelaskan, dalam pertemuan dibahas mekanisme penertiban, khususnya untuk penambang liar.
“Yang kita bahas tadi adalah mekanisme pembersihan nantinya. Jadi disana yang paling pertama itu kita penertiban terhadap penambangan liar, penambangan tanpa izin (PETI). Kita sudah bahas tapi secara regulasi harus ditindak oknum-oknum yang tanda kutip membeking-beking. Di dalam pembersihan ini harus di tindak juga dan kita harap semua stakeholder disana memberikan dukungan positif terhadap rencana penertiban ini sesuai peran masing-masing,”ujarnya.
Pembersihan Gunung Botak, kata Kasrul, akan melibatkan Polri sebagai ujung tombak operasi, diback-up oleh TNI dan pemerintah daerah. Pemerintah menegaskan pentingnya dukungan semua pihak, termasuk bupati dan sepuluh koperasi yang sudah ada.
“Tentunya, pembersihan Gunung Botak lebih spesifik lagi. Kan namanya penertiban berarti ujung tombaknya ada di kepolisian. TNI memback-up dan tentunya kita pemerintah daerah akan memback-up penuh juga. Bupati, bahkan 10 koperasi harus membantu pemerintah dan TNI/Polri untuk melakukan penertiban. Kalau ini sudah jadi, secara simultan kita akan berbicara lagi lebih teknis, lebih terbatas tentang penertiban di daerah Gunung Botak,”katanya.
IPR Koperasi
Tercatat 10 koperasi selama ini mengantongi izin pertambangan rakyat, 6 Koperasi diantaranya telah menyelesaikan urusannya pada Minerba One Data Indonesia (MODI), sedangkan 4 Koperasi lainnya dinyatakan belum lengkap.
“Saya kira masyarakat sudah tahu bahwa yang memiliki izin pertambangan rakyat itu ya yang 10 koperasi. Nah, hasil rapat tadi selain mengidentifikasi dan inventarisir persoalan yang ada disana, mengecek kelengkapan lagi administrasi. Kan ada beberapa koperasi, 4 kalau tidak salah yang belum selesai urusan administrasinya di MODI. Dari 10, 6 sudah sangat lengkap. 4 yang masih belum,”tutur Kasrul.
Sayangnya, Ia tidak mengutarakan secara detail 6 Koperasi yang telah menyelesaikan urusan pada MODI. Pasalnya dari 10 Koperasi, terdapat 1 Koperasi, berdasarkan hasil pengawasan Dewan setempat ditemukan menggunakan bahan yang tidak ramah lingkungan, atau zat kimia berbahaya, seperti Sianida, yaitu Koperasi Produsen Perusa Tanila Baru. Koperasi yang diketahui milik dari salah satu pimpinan partai di daerah setempat, berlokasi di jalur H, Dusun Wamsait, Kabupaten Buru. (MM-9)