Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
DaerahEkonomiOpini

Inflasi di Maluku: Naik, Tapi Tidak Membakar

12
×

Inflasi di Maluku: Naik, Tapi Tidak Membakar

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Charles Gigir Anidlah

Bagi yang sering ke Ambon, atau orang Ambon, sudah biasa. Biasa kalo harga ikan naik. Bawang juga begitu. Listrik? Sudah pasti. Waktu naik tidak ada yang marah. Tidak ada demo. Tidak ada spanduk. Tidak ada air mata di depan kamera.

Warga Ambon hanya menghela napas. “Naik lagi e.” Lalu mereka beralih: dari ikan besar ke ikan teri, atau ke telur. Dari ayam potong ke tempe. Dari pasar ke kebun sendiri. Kita tidak bisa tidak membandingkan dengan Caracas, Venezuela. Di sana, ketika inflasi menyentuh 200 persen, semua berubah jadi anarki pasar. Harga berubah setiap hari. Orang lebih memilih menukar gula dengan sabun daripada pakai uang. Atau di Buenos Aires. Saya pernah membaca kisah warung kopi di San Telmo—harga secangkir kopi naik dua kali dalam seminggu. Tapi mereka punya strategi: pemerintah memberlakukan price cap, dan toko-toko diberi subsidi langsung. Gagal sebagian, tapi setidaknya rakyat tahu: negara hadir.

Kembali ke Maluku. Ambon bulan Maret mencatat inflasi 2,87 persen. April naik jadi 3,78 persen. Tapi Mei turun jadi 1,98 persen. Tidak menggila, tapi cukup bikin orang berpikir dua kali sebelum belanja.
Di Tual, lebih stabil tahunan: 1,36 persen pada April. Tapi ada lonjakan bulanan di Maret dan April. Inflasi bulan ke bulan lebih tinggi dari Jakarta. Di kota kecil seperti Tual, ini lebih terasa. Pasar lebih sempit, logistik lebih mahal, dan pilihan terbatas.

Masohi? Polanya mirip Ambon dan Tual. Tidak beda. Kenaikan harga terjadi, tapi rakyat diam. Karena mereka sudah biasa bertahan. Bukan karena pasrah, tapi karena pintar menyesuaikan.
Tapi bagaimana pemerintah menanganinya?
Kita tanya pejabat di Ambon. Mereka bilang sudah adakan operasi pasar. Sudah distribusi beras SPHP. Sudah kerja sama dengan Bulog. Tapi semua itu—kata seorang pedagang di Pasar Batu Merah—“cuma bantu dua hari.”

Di Tual, ada program pangan murah keliling. Tapi begitu truk lewat, harga naik lagi. Pasar tidak diatur dengan sistem, hanya dikendalikan dengan niat baik. Sayangnya, niat baik tak pernah cukup menghadapi biaya logistik laut yang setinggi langit.

Bandingkan dengan Nairobi, Kenya. Di sana,ketika inflasi menyentuh 9 persen, wali kotanya langsung menggelar “urban food subsidy”. Mereka menyalurkan langsung paket sembako ke titik-titik RW. Bukan lewat distributor. Langsung dari gudang kota ke meja makan warga. Efeknya? Inflasi pangan turun setengah dalam dua bulan.

Di Maluku, kita belum sampai ke sana. Tapi bisa meniru. Bukannya tidak bisa. Hanya belum dianggap darurat.

Kalau saya boleh usul—daripada hanya tunggu data inflasi dari BPS—mengapa kita tidak bikin indeks pasar rakyat sendiri? Caranya setiap seminggu, catat harga 10 bahan pokok di pasar-pasar utama. Seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya di era Bu Risma.

Karena yang terjadi di Ambon hari ini bukan soal angka. Tapi soal rasa. Soal psikologi warga. Ketika telur jadi mahal, bukan hanya urusan protein—tapi juga urusan anak sekolah yang tak bawa bekal.
Saya tidak melihat warga panik. Tapi saya melihat gelagat: warga mulai belanja harian, bukan mingguan. Warung jual telur satuan. Minyak sachet. Beras repack 1 kg.

Ini bukan bencana. Tapi tanda bahaya kecil. Yang kalau tak ditangani, bisa jadi percikan api.
Saya percaya, Maluku bukan Venezuela. Tapi kalau inflasi tetap dianggap statistik, bukan soal perut—kita bisa salah jalan.

Sebelum rakyat turun ke jalan, lebih baik pemerintah turun ke pasar. Jangan tunggu demo untuk bergerak. Cukup dengarkan apa yang tidak dikatakan warga.
Karena inflasi yang paling menyakitkan bukan yang naik, tapi yang diabaikan.

Penulis adalah Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Maluku

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *